Blogger Widgets

Popular Posts

Selasa, 07 Juli 2015

PENGAKUAN SEORANG IBU

.
Aku duduk mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Rahma, kawan sesama pengajar TPQ yang duduk tepat di sampingku hanya tersenyum. Lalu dia menoleh dan memperhatikan detail gerak wajahku.

“Mbak Sarah, dijawab dong pertanyaan Mas Hasan,” kata Rahma sedikit tak bisa menahan luapan perasaan girangnya.

“Apapun nanti jawaban Sarah, aku siap kok. Kalau memang tak boleh bertemu Mas Win dan Mbak Wid, tidak mengapa,” ucap Mas Hasan tenang.

“Boleh kok Mas, silakan nanti sore bertemu dengan Mbak Wid dan Mas Win,” jawabku lirih. Perasaanku campur aduk menjadi satu, ada perasaan bahagia luar biasa karena ada seorang laki-laki shaleh yang hendak meminangku, di sisi lain aku juga bingung apakah aku sudah siap? Ataukah keluargaku menerima pinangan Mas Hasan. Karena dia belum bekerja, masih kuliah dan hidupnya masih numpang.

Mas Hasan adalah seorang mahasiswa Teknik UNS semester akhir. Dia berasal dari kota Rembang dan sudah 4 tahun tinggal di daerah kami sebagai penjaga masjid. Setahuku biaya kuliahnya pun dibiayai oleh salah seorang pengurus masjid, maklum karena Mas Hasan lahir dari keuarga yang kurang mampu. Selain sebagai muazin, dia juga aktif mengajar TPQ, termasuk aku sebagai pengajar putri.

Hubungan kami terjalin saat kegiatan TPQ dan remaja masjid yang sering diadakan bersama. Secara personal aku pun mengaguminya sebagai lelaki istimewa, karena di jaman sekarang sangat jarang seorang pemuda yang mau menghabiskan masa mudanya untuk kegiatan agama, mencari ilmu dan berdakwah sepertinya. Aku merasa beruntung jika ternyata pemuda ini akhirnya memilihku.

***

Aku di kamar mencoba mendengar apa yang dibicarkan Mas Win dan Mbak Wid yang sedang berbincang serius dengan Mas Hasan. Merekalah satu-satunya keluarga terdekatku sekarang. Bapak dan Ibu telah lama meninggal, aku telah dipelihara kakak perempuanku, Mbak Wid, sejak masih SD.

Dari pembicaraan mereka sayup kudengar sinyal kurang mengenakkan. Sepertinya kakakku kurang menyetujui pinangan pemuda shaleh tersebut. Seperti prediksiku semula  alasannya karena dia masih berstatus mahasiswa dan belum punya pekerjaan tetap. Tak lama, Mbak Win memanggilku agar aku  ikut nimbrung bersama di ruang tamu.

“Sarah, aku yakin kamu sudah tahu maksud kedatangan Hasan, bukannya kami melarang dan menolak hanya saja menikah itu bukan sekedar ijab qabul selesai, selain persiapan batin perlu juga ada persiapan lahir dan materi apalagi bagi seorang laki-laki yang bakal menjadi kepala keluarga, bukan begtu, Hasan?” Pertanyaan Mbak Win sungguh merupakan pukulan telak untuk Mas Hasan.

“Iya Mbak, nanti saya akan kuliah sambil bekerja.” Mas Hasan bersikeras dengan prinsipnya, yah memang begitulah  sifatnya, selalu pantang menyerah.

“Menurut Mas, tidak usah tergesa. Kamu masih bisa selesaikan kuliahmu nanti kalau sudah selesai, kita bicarkan lebih matang.” Mas Win mencoba mencari jalan tengah.
Setelah pembicaraan mulai menemukan titik temu, Mas Hasan berpamitan walau dengan sedikit ganjalan.

***

Di kamar, Aku segera menulis SMS untuk Mas Hasan, kucoba minta maaf atas perkataan kakakku yang mungkin kurang berkenan, belum selesai mengetik tiba-tiba Mbak Wid masuk kamar dan memelukku dari belakang dengan erat sambil menangis tersedu-sedu.
Aku tak mengerti, tak pernah Mbak Wid melakukan hal seperti ini.
“Kenapa, Mbak? Aku tidak mengapa kok.” Aku masih kebingungan.

“Maafkan Mbak Wid ya …,” sambil sesenggukan.
“Biasa saja, Mbak. Memang Mas Hasan agak nekat orangnya.” Aku berusaha menenangkan.
“Bukan itu, Sarah.”
“Maksud Mbak?”
“Karena kamu sudah dewasa dan hendak menikah, Mbak harus memberi tahu kepadamu sebuah rahasia yang besar, maafkan Mbak jika baru sekarang bercerita ….”
“Rahasia besar apa?”Aku semakin tak mengerti.

Kami berdua duduk di sisi tempat tidur. Kucoba mendengarkan dengan seksama kata demi kata kakak perempuanku. Bagaikan mendengar petir di siang bolong, aku terkejut dan lemas seketika mendengar pengakuan kakakku, bahwa diriku sebenarnya adalah anaknya, bukan anak orang yang dulu kusebut Bapak dan Ibu. Mereka berdua adalah kakek dan nenekku. Sedangkan Mas Win memang benar suami Mbak Wid, tetapi bukan ayahku.

“Lalu siapa dan di mana ayahku, Mbak?” tanyaku sambil menangis tersedu.
“Mbak sekarang tak tahu di mana ayahmu, dan Mbak nggak mau dia hadir dalam hidup kita lagi, sudahlah, lupakanlah ….”
“Aku anak zina?” ratapku.

“Ssst jangan berkata begitu, kamu tidak bersalah, kamu tak berdosa, semua adalah salahku … ibumu ini.” Mbak Wid memelukku sangat erat sambil terisak.

Aku menangis sekeras-kerasnya, meluapkan segala emosi yang bercampur aduk menjadi satu. Ada rasa kecewa, benci, marah, sedih, tetapi sekaligus rasa bahagia, karena ternyata ibu yang melahirkan aku masih hidup dan menyayangiku.

“Lalu bagaimana aku menikah, bukankah harus ada ayah?”
“Aku akan mencari Bapakmu,” kata Mas Win berdiri di depan pintu kamarku. Perkataan yang sangat bijaksana dari seseorang yang tergores luka lamanya.

“Demi kamu Sarah, aku akan mencarinya, walau sebenarnya Mas Win tak mau mengingat masa lalu. Apalagi masa lalu itu berhubungan dengan kekhilafan ibumu.”

Kakak iparku itu pun melangkah meninggalkan kamar, aku bisa mengerti dan memahami perasaannya, mengapa dia begitu membenci ayahku. Aku merasa bingung harus bagaimana dan berkata apa, biarlah malam ini segera berlalu dan berganti pagi. Malam yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, kegelapannya menegaskan gelapnya pikiranku yang sedang gundah gulana mendengar segala kenyataan tentang hidupku.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar