MENUJU BUMI JIHAD
Ibu menangis tersedu-sedu sambil merangkulku sangat erat, “Ya sudah, le, kalau itu sudah menjadi cita-cita dan ketetapan hatimu, ibu hanya bisa mendoakan … moga-moga ….”
Ibu tak bisa meneruskan lagi perkataannya, hanya sesenggukan yang bisa kudengar. Tekadku sudah bulat segala pemandangan mengharukan ini tak membuatku mundur dan bergeming untuk tetap berangkat ke Suriah.
“Doakan saja anakmu ini, Bu, kalaupun aku suatu hari nanti hanya namaku saja yang kembali, yakinlah kita akan bertemu di surga-Nya nanti,”
Ibu semakin terisak dan tak mampu berkata-kata, cengkeraman jari jemarinya semakin kuat terasa di punggungku. Kuteguhkan hati seteguh karang. Tak ada setetes pun air mata yang jatuh dari kedua pelupuk mataku. Kucium telapak tangannya, aku pun beranjak mengambil dua tas besar bekalku, meninggalkan orang tua, keluarga, kawan handai taulan dan negeriku. Menuju tempat yang aku tak tahu bagaimana nasibku di sana, hanya sebuah keyakinan memenuhi panggilan-Nya.
***
Kupandang tetes air hujan yang menempel pada kaca jendela bus yang membawaku ke Jakarta. Bulir-bulirnya mampu memanggil bulir air mata yang tersimpan dalam kelopak mataku. Tanpa sadar menetes di pipi, suasana hening malam membuatku teringat segala kenangan di masa lalu. Terlihat bayangan wajah ayah yang sudah meninggal dunia, ibu yang selalu memanjakanku, kakak yang galak, adikku yang lucu. Terbersit kenangan saat bersama kawan bercanda, pergi rekreasi, tertawa gembira, ah sudahlah aku tak mau terhanyut suasana kecengengan ini.
Kuhapus air mata yang membasahi pipi dengan kain sorban. Sebenarnya aku tidak berbeda dengan mereka, hanya manusia biasa yang juga punya rasa. Aku hanya berusaha mendahulukan dan mengambil yang paling mulia. Meninggalkan mereka bukan berarti tak cinta, aku hanya ingin mencintai dan menyayangi dengan takaran yang semestinya. Bukankah cinta tertinggi haruslah kepada-Nya.
Kerlip lampu sepanjang jalan yang terus berpendar seiring dengan pendar cahaya hati yang masih ada walau hampir saja redup oleh ikatan dan belenggu cinta dunia. “Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil.”
***
Kulalui perjalanan dengan pesawat dari Jakarta menuju Istambul-Turki bersama dua orang hebat. Duduk di samping mereka saja cukup membuatku lebih bersemangat. Om Amir salah satu alumni perang Afghanistan semasa agresi AS pada tahun 2001. Hidupnya memang telah diabdikan untuk perjuangan di jalan-Nya, sebuah penghidupan terbaik seperti yang dikatakan Rasulullah SAW. Kawanku yang lain bernama Bang Saiful, salah satu seniorku. Kami berdua sama-sama baru pertama ke Suriah, hanya saja dia sudah lebih bepengalaman di berbagai medan perjuangan lokal.
Sesampai di Istambul, kami harus ganti pesawat menuju propinsi Gaziantep yang merupakan propinsi terdekat dengan perbatasan Suriah. Gaziantep dan Hatay merupakan jalur masuk bebas hambatan menuju Suriah. Di Bandara Gaziantep kami sudah ditunggu seorang pria tinggi besar berjenggot, saya tak tahu namanya. Dia berbicara dengan Om Amir menggunakan bahasa arab. Tak lama kami diajak masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju kota Kilis. Bukan perjalanan yang singkat menuju kota tersebut, sekitar 45 km jauhnya dari bandara. Kilis di sinilah perbatasan akhir antara negara Turki dan Suriah.
Usai mengurus visa, kami melanjutkan perjalanan dengan penuh ketegangan. Bukan ketakutan tetapi adrenalin yang terpacu menuju pintu masuk bumi jihad Syam. Saat mobil melawati gerbang perbatasan, tiba –tiba aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Aku pun tak mengerti kenapa, mirip dengan perasaan ketika menatap kabah pertama kali secara langsung dengan mata kepala sendiri, saat umroh satu tahun yang lalu. Air mata bahagia tak bisa dibendung.
Om Amir yang duduk di kursi depan menoleh kepadaku dan tersenyum, “Selamat datang di bumi jihad Syam, medan yang penuh kemuliaan, tidak hanya dirimu banyak orang yang merasakan hal yang sama. Mereka menangis seperti menemukan hal yang lebih berarti dari semua harta di dunia, lebih berharga dari saudara dan keluarga. Ya di sinilah pintu surga di depan mata.”
Kata-kata Om Amir membuatku semakin terhenyak dan terhanyut dalam keharuan kebahagiaan. Bang Saiful yang duduk disampingku pun turut meneteskan air mata bahagia. Sepanjang perjalanan kulihat ribuan tenda pengungsi yang tersebar di mana-mana, sungguh miris dan tragis.
“Wahai saudara-saudaraku, aku datang dari negeri seberang ke tanah ini untuk membelamu dari penindasan. Aku datang untuk menegakkan kalimat Allah yang terinjak-injak. Aku hadir dengan jiwa dan raga yang siap kukorbankan untuk menegakkan kalimat-Nya di muka bumi ini ... Ya Allah saksikanlah!”
Kuinjakkan kakiku pertama kali di bumi jihad, seperti menginjak beranda surga, serasa tinggal beberapa langkah menuju pintunya. “Ya Allah, kutinggalkan ibuku, keluargaku, negeriku, kesenanganku untuk berjuang di jalanMu … karena Engkau ya Allah … jika jasad ini harus terpisah dari raganya, aku sudah ridho ya Allah. Semua kulakukan karena aku mencintai-Mu. Ya Allah terimalah … ya Allah saksikanlah!”
Popular Posts
-
Kadang hidup itu tak hanya tentang seberapa jauh kita melangkah, seberapa tinggi kita mendaki, tapi juga sedalam apa kita menyelam. ...
-
Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Tidak ada sesuatu hal lebih yang dapat membuat dunia ini berhenti untuk berputar. Namun kenyataan, ...
-
Kenyataan hidup, terkadang hilangnya suatu masalah bukan menjadi solusi, tetapi hanya kesabaranlah yang menjadi solusi, meski harus bersa...
-
Kita pasti pernah dibuat kesal dan dikecewakan seseorang. Oleh siapakah? Dikecewakan orang yang tak kita kenal atau tak dekat secara...
-
Setiap orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita dalam hidupnya. Apapun impian anda … apakah ingin menjadi penulis profesional,...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar