Popular Posts
-
Kadang hidup itu tak hanya tentang seberapa jauh kita melangkah, seberapa tinggi kita mendaki, tapi juga sedalam apa kita menyelam. ...
-
Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Tidak ada sesuatu hal lebih yang dapat membuat dunia ini berhenti untuk berputar. Namun kenyataan, ...
-
Kenyataan hidup, terkadang hilangnya suatu masalah bukan menjadi solusi, tetapi hanya kesabaranlah yang menjadi solusi, meski harus bersa...
-
Kita pasti pernah dibuat kesal dan dikecewakan seseorang. Oleh siapakah? Dikecewakan orang yang tak kita kenal atau tak dekat secara...
-
Setiap orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita dalam hidupnya. Apapun impian anda … apakah ingin menjadi penulis profesional,...
Selasa, 07 Juli 2015
MENJELANG EKSEKUSI MATI
Kami berpelukan lama sekali. Mungkin karena ini adalah pelukan terakhir. Air mata tumpah tak terbendung lagi. Kulihat Bapak yang biasanya tegar pun tak kuasa menahan perasaannya.
“Bapak … Ibu, aku titip Khadija dan Faisal ya,” pesanku.
Ibu semakin terharu dan menciumi kepalaku, “Ya Allah le … yang sabar ya, pasrah dan tawakkal sama Allah. Ikhlaskan hati mudah-mudahan kamu diampuni Allah dan digolongkan ahli surga,” tukas ibu sambil tersedu-sedu.
“Amiin, ya Allah,” sahutku.
Istriku hanya bisa mencucurkan air mata tak mampu lagi untuk berkata. Kupeluk cium Faisal, anakku satu-satunya yang sekarang masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar.
“Kalau ada teman yang mengolok-olok bahwa ayahmu ini penjahat. Jangan hiraukan! Jangan dengarkan! Kamu tak perlu marah, bersabarlah. Allah lebih tahu siapa sebenarnya orang yang baik.”
“Faisal, taati dan sayangilah Ibumu. Jadilah anak yang sholeh. Mudah-mudahan kelak kamu menjadi orang yang lebih baik dari Ayah,” pesanku.
Anakku hanya mengangguk, raut kesedihan tampak dari wajahnya.
Masa jenguk telah usai, Bapak, Ibu, Khadija, dan Faisal sudah diminta sipir untuk meninggalkan lapas. Mereka pun melangkah meninggalkanku. Terasa berat tetapi bagaimanapun juga aku harus kuat. Pandangan ini mengikuti setiap langkah mereka, tak ada yang kuat menoleh kembali kepadaku, hanya Faisal yang berkali-kali menoleh melihatku.Tiga hari lagi eksekusi mati akan dilaksanakan.
***
Kupandangi selembar foto yang diselipkan Khadija tiga hari yang lalu, saat semua keluarga menjenguk untuk kali terakhir. Foto kenangan keluarga kecil, mataku tertuju pada sosok Khadija yang sedang merangkul Faisal.
Kuusap gambar raut wajah mereka dengan jari-jariku, “Wahai Istri dan anakku tersayang, maafkan jika selama ini ayah tak bisa menjadi suami dan bapak yang baik buat kalian. Malam nanti ayah akan pergi meninggalkan kalian untuk selama-lamanya. Jika orang lain tak tahu kapan akan meninggalkan orang terkasih untuk selamanya. Ayah mengetahuinya, bahkan hingga pukul berapa saat maut harus menjemput. Meskipun semua jiwa ada di tangan-Nya tetapi secara logika, beginilah keadaannya,” bisikku sambil menungggu pembimbing spiritual menjengukku untuk yang terakhir kali.
Siang tadi mungkin saat terakhir aku bisa melihat cahaya mentari. Hari terakhir bisa memandang isi dunia yang penuh warna-warni. Eksekusi tembak mati telah menantiku beberapa jam lagi.
Ini adalah perpisahan dengan alam dunia yang jelas waktunya. Tidak seperti kebanyakan orang yang tak tahu kapan akan meninggalkan keluarga, harta, saudara, dan segala aktifitas dunia. Aku merasa lebih beruntung bisa mengetahuinya, paling tidak bisa menyiapkan bekal menuju alam sesudah mati dan mempersiapkan mental keluarga yang akan kutinggalkan. .
Ingatanku melayang ke masa lalu, seperti melihat sebuah film tentang kisah hidupku. Terbayang senyum bapak dan ibu, serta kejadian-kejadian yang berkesan saat masih kecil, Imajinasiku terus berkelana mengingat perjalanan masa muda hingga saat bahagia bersama Faisal dan Khadija.
Tiba-tiba tenggorokan ini terasa tersekat saat mengingat kejadian yang paling menyesakkan dada. Saat aku menghunus parang dan membantai seluruh keluarga Pak Bondan tanpa ampun. Tak ada yang tersisa meski satu nyawa, istri dan ketiga anaknya bahkan seorang asisten rumah tangga kuhabisi semua.
Entah setan apa yang menguasai sehingga tega membantai majikanku sendiri. Saat itu aku sudah tak bisa menahan emosi karena penghinaan luar biasa yang dilontarkan kepada orang tuaku, Jika hanya diriku yang dihina mungkin tak sekalap itu, tapi dia telah menghina bapak dan ibu dengan menyebut mereka seperti kerbau yang tolol.
Amarah dan dendam yang membara membuatku begitu mudahnya mengikuti bujuk rayu setan. Sekarang aku hanya bisa menyesal dengan sesal yang teramat dalam. Andai bisa kuputar waktu dan melakukan hal yang berbeda, tentu tak begini akhir ceritanya.
Apapun alasannya melakukan kejahatan tetap saja salah dan tidak bisa dibenarkan oleh agama maupun hukum negara. Aku mengakuinya dan siap menerima segala konsekuensi dari apa yang telah kuperbuat.
***
Kulihat jarum pendek jam dinding di ruang konsultasi tahanan menunjuk angka delapan, berarti kurang tiga jam lagi saat eksekusi tiba. Ustadz Amri duduk di hadapan memberikan nasihat terakhir kepadaku. Beliau memang bertugas sebagai pembimbing spiritual lapas ini. Selama masa tahanan aku banyak belajar tentang agama dan kehidupan darinya.
“Apakah Allah akan mengampuni semua dosa-dosaku, Ustadz?” tanyaku ragu.
“Allah berfirman dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 53-54. Katakanlah; Hai hamba-hambaku yang telah melewati batas dalam berbuat dosa. Janganlah kalian berputus asa dari kasih sayang Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyanyang. Kembalilah kalian kepada Tuhanmu, berserah dirilah kepada-Nya, sebelum datang kepada kalian azab kemudian kalian tidak lagi dapat membela diri.” Guru spiritualku menjelaskan.
Aku tiba-tiba menangis seperti seorang anak kecil. Hatiku terharu, merasa seperti mendapat jawaban langsung dari-Nya. Aku bersimpuh di pangkuan Ustadz Amri, dan bertanya sekali lagi, “Benarkah Allah akan mengampuniku, sedangkan aku telah menghilangkan banyak nyawa?”
“Ya! Jika kau sungguh bertaubat kepada-Nya maka demikianlah janji-Nya. Meskipun teman dan tetangga menganggapmu sebagai seorang pembunuh. Biarpun semua orang menganggapmu mati terhina, padahal faktanya engkau mati dalam keadaan taubatan nasuha,“ kata guru spiritualku dengan tegas.
“Qishosh adalah salah satu bentuk rahmat Allah, Niatkan dalam hati bahwa eksekusi mati yang akan kamu jalani adalah qishah bagimu. Mudah-mudahan kamu menemui-Nya dalam keadaan bersih dari dosa sebagaimana perempuan pezina yang menyerahkan dirinya pada Rasulullah SAW untuk dirajam. Taubatnya lebih dari cukup untuk seluruh penduduk Madinah waktu itu. Ingatkah kamu cerita yang sering aku kisahkan kepadamu tentang pembunuh 100 orang yang bertaubat? Bukankah akhirnya Allah merahmati dan mengampuninya,” nasehat Ustadz Amri.
"Insha Allah, Ustadz,” jawabku dengan kelegaan luar biasa.
“Aku titip selembar surat wasiat ini untuk istriku. Hanya beberapa pesan sederhana saja, Ustadz. Salah satunya agar dia sabar dan tak perlu larut dalam kesedihan. Karena hidup di dunia hanyalah sebentar saja. Mudah-mudahan kami bisa dipertemukan di surga-Nya nanti,” sambil menyodorkan kepada guruku secarik lipatan kertas.
“Amiiin ... ya Rabbal ‘alamiin.”
***
Detik-detik saat maut menjemput hampir tiba. Beberapa sipir menggiringku berjalan menuju tiang eksekusi yang sebenarnya adalah tiang pembebasan dosa. Aku merasakan sangat rindu kembali pada-Nya. Suatu perasaaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa yang sangat manis dan sukar diungkap dengan kata. Kuharap langkah kakiku ini adalah langkah menuju jannah-Nya.
“Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin … terima kasih ya Allah atas segalanya." Hati dan lidahku terus mengucapkan istighfar tanpa henti hingga malaikat Izroil datang menjemput. Ya ... aku sedang menantikan maut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar